Guru adalah profesi strategis untuk menuju terciptanya pendidikan yang bermartabat, yang pada gilirannya akan tercipta generasi yang memiliki SDM handal. Tapi ada keanehan dan telah menjadi fenomena pada masyarakat bahkan sekolah, bahwa umumnya siswa cerdas enggan untuk memilih professi guru. Tidak jarang sebagian guru sendiri yang menganjurkan anak didik mereka yang cerdas agar memilih karir selain guru.
Saat sebagian diantara mereka yang memilih bidang pendidikan dan mereka menjadi mahasiswa, mereka belajar banyak teori tentang pedagogik, psikologi perkembangan dan ilmu-ilmu lain, dengan tumpukan buku yang menggunung. Setelah menyelesaikan sejumlah mata kuliah dalam jumlah tertentu dan tugas akhir maka mereka punya hak untuk wisuda dan menyandang predikat S.Pd (Sarjana Pendidikan) dan berkarir sebagai guru di sekolah.
Tetapi setelah menjadi guru dan meleburkan diri dalam kehidupan masyarakat sekolah, fenomena di lapangan, yang terjadi adalah �quality deterioration� dan mereka terhenti untuk belajar serta puas dengan ijazah keguruan yang telah mereka sandang. Buku bukan lagi menjadi sarapan pagi, begitu juga dalam membaca koran, majalah dan jurnal. Mereka mengajar hanya dengan mengandalkan buku-buku teks usang yang dipinjam dari perpustakaan sekolah Bahkan sebagian dari mereka dalam menyambut kehadiran teknologi, seperti internet, komputer, laptop, LCD dan lain-lain kurang bergairah dan kurang tertarik untuk ikut mengaplikasikannya. Mereka bersembunyi dibalik kata-kata �sibuk� sehingga pada akhirnya mereka menjadi guru-guru yang gaptek.
Membiarkan diri jadi bodoh-tidak mengikuti perkembangan tekhnologi, menjadi karakter sebagian guru kita hari ini. Karakter negative lain yang juga menghinggapi pada sebagian oknum guru adalah �hilangnya idealism sebagai guru�.. Bila prilaku ini sudah menjadi karakter maka kapan peran guru sebagai konselor dan memberi pandangan hidup pada siswa dapat terlaksana ?. Miskinnya interaksi antara guru dengan siswa telah membuat mereka tidak mengidolakan gurunya, malah cukup banyak siswa yang juga tidak mengenal nama guru-guru mereka, tapi mengapa, tetap saja siswa yang disalahkan sebagai generasi kurang santun, pada hal ini tercipta karena gaya hidup guru itu sendiri.
Berbicara masalah gaya hidup guru, tidak hanya sampai disitu. Dewasa ini banyak yang juga senang untuk mengejar penampilan daripada meningkatkan kompetensi profesi sebagai guru. Menjadi kreditor dari sebuah bank atau pelanggan counter HP adalah juga prilaku gaya hidup mereka. Mengambil pinjaman uang untuk membeli mobil, walaupun mobil second. Tidak jarang, memiliki mobil belum jadi kebutuhan tetapi karena kompetisi penampilan maka mereka juga terdorong untuk memiliki. Melakukan perawatan mobil berjam-jam hingga menyita waktu yang seharusnya sebagai quota untuk tujuan pendidikan. Guru- guru perempuan juga berlomba untuk membeli assessories, pakaian, perhiasaan agar mereka bisa tampil menarik bak bintang iklan televisi, maka waktu yang dihabiskan untuk memenuhi nafsu konsumerisme juga telah menyita waktu yang seharusnya dibaktikan untuk pendidikan. Karena kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesenangan dunia, sebagian guru cendrung kehilangan waktu untuk menyiapkan diri menjadi guru yang professional. Cukup banyak guru tak punya waktu untuk belajar, menyiapkan perangkat pengajaran, menyiapkan soal-soal ujian dan memeriksa ujian dan pekerjaan siswa. Tetapi untuk berbagi gossip tetap selalu ada waktu.
Tidaklah berdosa bila seorang guru juga mengejar dan memenuhi kebutuhan penampilan. Guru juga manusia biasa, mereka juga punya kebutuhan mulai dari kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan luks. Atau mereka juga perlu memenuhi kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan psikologi sampai kepada kebutuhan untuk aktualisasi diri. Dan selayaknya guru juga bisa meluncur dengan mobil sedan, hingga sebutan �Oemar Bakri� yang pergi mengajar dengan mendayung sepeda kumbang tidak melekat lagi. Tapi semua itu harus dibarengi juga dengan kepedulian untuk menajamkan kemampuan kompetensi mereka sebagai guru yang professional.
Untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut memiliki empat hal, yakni:
Saat sebagian diantara mereka yang memilih bidang pendidikan dan mereka menjadi mahasiswa, mereka belajar banyak teori tentang pedagogik, psikologi perkembangan dan ilmu-ilmu lain, dengan tumpukan buku yang menggunung. Setelah menyelesaikan sejumlah mata kuliah dalam jumlah tertentu dan tugas akhir maka mereka punya hak untuk wisuda dan menyandang predikat S.Pd (Sarjana Pendidikan) dan berkarir sebagai guru di sekolah.
Tetapi setelah menjadi guru dan meleburkan diri dalam kehidupan masyarakat sekolah, fenomena di lapangan, yang terjadi adalah �quality deterioration� dan mereka terhenti untuk belajar serta puas dengan ijazah keguruan yang telah mereka sandang. Buku bukan lagi menjadi sarapan pagi, begitu juga dalam membaca koran, majalah dan jurnal. Mereka mengajar hanya dengan mengandalkan buku-buku teks usang yang dipinjam dari perpustakaan sekolah Bahkan sebagian dari mereka dalam menyambut kehadiran teknologi, seperti internet, komputer, laptop, LCD dan lain-lain kurang bergairah dan kurang tertarik untuk ikut mengaplikasikannya. Mereka bersembunyi dibalik kata-kata �sibuk� sehingga pada akhirnya mereka menjadi guru-guru yang gaptek.
Membiarkan diri jadi bodoh-tidak mengikuti perkembangan tekhnologi, menjadi karakter sebagian guru kita hari ini. Karakter negative lain yang juga menghinggapi pada sebagian oknum guru adalah �hilangnya idealism sebagai guru�.. Bila prilaku ini sudah menjadi karakter maka kapan peran guru sebagai konselor dan memberi pandangan hidup pada siswa dapat terlaksana ?. Miskinnya interaksi antara guru dengan siswa telah membuat mereka tidak mengidolakan gurunya, malah cukup banyak siswa yang juga tidak mengenal nama guru-guru mereka, tapi mengapa, tetap saja siswa yang disalahkan sebagai generasi kurang santun, pada hal ini tercipta karena gaya hidup guru itu sendiri.
Berbicara masalah gaya hidup guru, tidak hanya sampai disitu. Dewasa ini banyak yang juga senang untuk mengejar penampilan daripada meningkatkan kompetensi profesi sebagai guru. Menjadi kreditor dari sebuah bank atau pelanggan counter HP adalah juga prilaku gaya hidup mereka. Mengambil pinjaman uang untuk membeli mobil, walaupun mobil second. Tidak jarang, memiliki mobil belum jadi kebutuhan tetapi karena kompetisi penampilan maka mereka juga terdorong untuk memiliki. Melakukan perawatan mobil berjam-jam hingga menyita waktu yang seharusnya sebagai quota untuk tujuan pendidikan. Guru- guru perempuan juga berlomba untuk membeli assessories, pakaian, perhiasaan agar mereka bisa tampil menarik bak bintang iklan televisi, maka waktu yang dihabiskan untuk memenuhi nafsu konsumerisme juga telah menyita waktu yang seharusnya dibaktikan untuk pendidikan. Karena kesibukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesenangan dunia, sebagian guru cendrung kehilangan waktu untuk menyiapkan diri menjadi guru yang professional. Cukup banyak guru tak punya waktu untuk belajar, menyiapkan perangkat pengajaran, menyiapkan soal-soal ujian dan memeriksa ujian dan pekerjaan siswa. Tetapi untuk berbagi gossip tetap selalu ada waktu.
Tidaklah berdosa bila seorang guru juga mengejar dan memenuhi kebutuhan penampilan. Guru juga manusia biasa, mereka juga punya kebutuhan mulai dari kebutuhan primer, sekunder dan kebutuhan luks. Atau mereka juga perlu memenuhi kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan psikologi sampai kepada kebutuhan untuk aktualisasi diri. Dan selayaknya guru juga bisa meluncur dengan mobil sedan, hingga sebutan �Oemar Bakri� yang pergi mengajar dengan mendayung sepeda kumbang tidak melekat lagi. Tapi semua itu harus dibarengi juga dengan kepedulian untuk menajamkan kemampuan kompetensi mereka sebagai guru yang professional.
Untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut memiliki empat hal, yakni:
- Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
- Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
- Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
- Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar